Peluang Pemilu Bagi Perbaikan Umat Islam

Perimbangan keterwakilan kaum muslimin di parlemen sampai sekarang ini masih jauh dari proporsional dibandingkan dengan non muslim. Kalau jumlah mereka di negeri ini tidak lebih dari 20% maka semestinya jumlah mereka di parlemen tidak lebih dari 20% pula tetapi kenyataan proses dan hasil pemilu beberapa kali di negeri ini, kalangan non muslim mendominasi bahkan mampu menaiki kendaraan partai yang berbasis Islam.

Perubahan pola pemilu dari memilih partai menjadi memilih orang, tentu menjadi terobosan baru di negeri ini. Harapan positif dari perubahan ini bagi umat Islam semoga masih terus ada, karena memang umat islam inilah, umat yang tidak pernah habis harapannya, mereka meyakini bahwa tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang – orang yang kafir. (QS Yusuf : 78)

Perubahan pemilu kepada pemilihan langsung membuka kepanikan bagi kaum minoritas, mereka akan sulit, secara kultural mendapatkan suara dari pemilih muslim yang menjadi pemilih mayoritas di negeri ini. Mengandalkan suara dari kelompoknya saja tentu sangat kecil peluang untuk memperoleh kursi parlemen sebagaimana pemilu – pemilu sebelumnya.
Pemilu bagi umat Islam sesungguhnya bukan rebutan kursi parlemen, tetapi lebih jauh dari itu, harga diri umat, advokasi kepentingan umat dalam level negara, mempertahankan kepemimpinan (imamah) agar tidak jatuh di tangan non muslim. … Dan Allah sekali – kali tidak akan memberi jalan kepada orang – orang kafir untuk memusnahkan orang – orang yang beriman. (QS An Nisa : 141). Serta kemaslahatan – kemaslahatan lain yang tidak akan pernah dicapai kRata Penuhecuali dengan proses pemilu dan partisipasi aktif mengelola negara.

Golput : Apatisme, Keputusasaan dan Sakit Hati
Pemilu di negeri senantiasa dipenuhi hingar bingar janji – janji perubahan. Ketika harapan perubahan itu begitu besar dan jelas, partisipasi pemilu menjadi begitu besar pula, seperti yang terasa pada pemilu 2000 yang lalu. Tetapi ketika lambat laun janji perubahan dan perbaikan itu tidak menyentuh rakyat, maka muncullah keputusasaan terhadap janji – janji perubahan yang senantiasa dijajakan di setiap perhelatan pemilu di negeri ini.

Keputusasaan itu kemudian diaktualkan dengan gerakan golput alias tidak memilih pada pemilihan umum. Gelombang golput juga sering disuarakan oleh mereka yang merasa sakit hati dengan pihak lain. Kecewa kepada partai, kecewa kepada pemerintah, kecewa kepada anggota dewan, dan lain – lain. Mereka ini semula sangat aktif dalam pemilihan umum sebagai pemilih atau yang dipilih, namun ketika ada sesuatu yang mengganjal dirinya kemudian diaktualkanlah kekecewaan itu dengan golput.

Golput dan Kesombongan Diri
Fenomena golput yang sungguh sangat sulit dipahami dalam Indonesia sekarang ini. Ketika pemilu tidak lagi memilih gambar partai, tetapi memilih langsung orang yang dipercaya untuk mewakilinya di lembaga – lembaga perwakilan, lalu mengatakan bahwa dari semua calon itu tidak ada yang layak dipilih. Na’udzu billah min dzalik. Sebegitu tingginya harga yang dipasang untuk diri sendiri dan sebegitu rendahnya memberikan bantrol untuk para calon anggota dewan yang ribuan orang jumlahnya dan hanya diminta memilih salah satunya?

Rasional dan Realistis
Umat Islam harus mengedapankan akal sehat, rasional dan realistis. Karena saat ini kemenangan umat Islam ditentukan oleh mereka sendiri. Artinya, umat Islam berhak menentukan siapa saja yang menjadi pemimpin atau wakil rakyat mereka. Umat Islamlah yang menentukan hitam dan putihnya bangsa ini. Melalui partisipasi pemilu dengan memilih tokoh, kader umat Islam yang memiliki kompetentsi (kemampuan) ulumuddin dan ilmu pendukung lainnya, diharapkan perbaikan umat akan segera terwujud.

Pemilihan umum dapat difahami sebagai sebuah peluang perubahan yang legal dan konstitusional di negeri Indonesia tercinta ini. Dan umat islam adalah penduduk mayoritasnya. Sangat aneh memang ketika penduduk terbesar itu tidak dapat mewarnai kehidupan berbangsa di negerinya sendiri dengan baik dan maksimal. Tentu sebuah ironi jika umat Islam yang menjadi tuan pemilik negeri ini merasa malu dan minder dengan budaya asing yang banyak mendominasi kehidupan berbangsa ini. Jika bangsa ini diibaratkan sebagai sebuah rumah, dan umat Islam adalah pemiliknya, maka sepatutnya pemilik rumah itu berkebebasan untu membentuk dan merenovasi rumahnya sesuai dengan apa yang ia suka. Tetapi apa boleh dikata, bahwa rumah indah umat Islam itu sepertinya telah dikontrakkan kepada fihak lain dan mereka merubahnya sesuai dengan apa yang mereka suka.

Jika umat Islam ini hendak merenovasi rumah itu, maka ia harus memilikinya dengan total dan dominan. Sehingga mampu merenovasinya sesuai dengan selera ke – Islamannya. Dan cara untuk memiliki kembali negeri ini secara konstitusional adalah dengan mengikuti pemilihan umum. Maka memilih wakil dan pimpinan yang berpihak kepada umat tentu menjadi sarana efektif untuk memperbaiki kehidupan umat di negeri ini. Inilah kemaslahatan yang bisa dihadirkan dalam hingar bingar pesta pemilu ini.

Pilihan golput bukan pilihan terbaik. Tidak memilih (golput) sama halnya dengan menyerahkan negeri ini diambil alih oleh orang – orang yang berniat buruk kepada kaum muslimin. Relakah kita, meraka yang memimpin negeri ini? Wallahu a’lam.

Oleh : Ust. Muhith Muhammad Ishaq (Beliaulah adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al Hikmah Jakarta)

0 komentar:

Post a Comment