Segalanya Milik Allah

Telepon berdering. Diujung telepon, terdengar suara seorang laki – laki : “Assalamu’alaikum mas, tolong jemput zakat saya dan keluarga dengan alamat … routenya … silahkan ambil jam sekian …”

Inilah awal kisah nyata sebuah keluarga korban gempa jogja yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 silam.

Gempa dengan kekuatan 5,9 skala richter (ada data lain yang menyebutkan 8,9 SR) yang mengguncang kota gudeg dan jateng sekitarnya itu, menyisakan kepedihan mendalam, isak tangis dan haru biru bagi warga Jogja dan Jateng. Rumah, toko, kendaraan, dan hewan ternak habis terkubur diantara puing – puing reruntuhan. Sebagian warga harus rela kehilangan sanak kerabat mereka untuk selamanya. Tak sedikit pula korban luka – luka tertimpa bangunan yang roboh. Sungguh guncangan hebat yang terjadi pada pagi buta itu menjadi cerita duka bagi warga Jogja dan Jateng. Hanya orang – orang yang bermental baja yang tetap tegar dan tabah menjalani semua cobaan yang diberikan sang Khalik ini.

Sebut saja Pak Yono, akan tetapi warga dusun Jetis Bolo, Desa Sawit Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten ini lebih suka dipanggil dengan Pak Pardi. Ia adalah pengusaha selepan padi yang berusia 45 tahun. Ia harus merelakan kehilangan rumah, tempat untuk berteduh, bercengkrama dengan keluarga melepas lelah dan penat seharian mencari nafkah untuk menyambung hidup. Tidak hanya itu, sepeda motor dan harta benda lainnya juga ikut rusak tidak bisa dipergunakan lagi akibat tertimpa bangunan. Namun, Pak Pardi masih beruntung karena tidak ada satupun anggota keluarganya yang mengalami luka atau meninggal. Seluruh anggota keluarganya, anak, istri, orang tuanya selamat.

Peristiwa gempa tersebut menyisakan kesan dan hikmah yang mendalam bagi Pak Pardi dan keluarganya. Ia baru tersadar. Ternyata segalanya begitu cepat. Harta yang dulu dengan susah payah ia kumpulkan dari bekerja bertahun – tahun, sekejap mata harta benda itu rata dengan tanah. Tinggal tersisa puing – puing reruntuhan yang porak – poranda.

“Rasanya begitu cepat mas, kulo ajrih sanget wekdal meniko (saya takut sekali) tanpa dinyono – nyono, mak lap!” omah kulo niki sampun rata kaliyan lemah. Dados nopo – nopo entek (habis), ati kula pingin njerit mas, menawi ninggali kedadosan meniko,” ujar Pak Pardi terbata – bata sesekali menyeka buliran – buliran putih dipipinya. Setelah semuanya terjadi Pak Pardi merasakan ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Seolah kuat fisiknya tak mampu lagi menahan derita dan kepedihan yang nyata didepan matanya. Kenyataan itu begitu memilukan.
Lama Pak Pardi tertegun dengan tatapan nanar namun hatiya bergolak. Ia tercekat, kemudian tersadar. Lalu kalimat istirja’ dan takbir, istighfar pun keluar meluncur dari lisan Pak Pardi. Dia tak sendirian, ketika ia menoleh, betapa bangunan – bangunan megah dan berdiri kokoh milik para tetangganya ikut rontok seperti daun gugur dimusim kering. “Allahu Akbar!” teriak Pak Pardi.

Ya, betapa gempa itu telah meluluh lantakkan segalanya. Ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban. Harta benda yang ditaksir ratusan milyar rupiah. Begitu cepat. Peristiwa ini menjadikan pelajaran yang berharga bagi siapapun.

Singkat cerita, tatkala memasuki pertengahan ramadhan 1459 Hijriyah tahun lalu, berkaca dari peristiwa musibah gempa masa lalu, Pak Pardi yang kini berusaha bangkit dari keterpurukan itu, kembali merintis usaha selepan padinya. Mencoba berbesar hati dengan menerima dengan ikhlas cobaan yang ada dan mengambil sisi positif bagi dirinya dan keluarganya.

“Mas, mohon ini diterima! Hanya sedikit mas, saya niatkan untuk berzakat, semoga harta dan jiwa saya sekeluarga bersih dan menjadi amal kebaikan bagi kami, Silahkan disalurkan kepada yang berhak menerimanya,” tutur Pak Pardi penuh keyakinan.

Subhanallah, dengan ringan Pak Pardi mengeluarkan sebuah amplof tebal berisi uang. Setelah saya buka, ternyata isinya, uang lembaran seratusan ribu sebanayk dua puluh lembar. Ya, dua juta rupiah. Begitu ringannya beliau memberikan zakat itu, padahal saat saya melihat kondisi rumah dan fisik bangunannya belum rampung dibangun. Sungguh mulia hati Pak Pardi.
Tidak selesai sampai disitu, ketika saya ingin mengambil gambar untuk dokumentasi dan pelaporan LAZIS. Beliau menolak dengan kata – katanya yang teduh. “Tidak usah difoto mas, saya bukan apa – apa dihadapan Allah, saya ingin berbuat baik semoga Allah meridhoi,” katanya. Begitulah, ternyata musibah dan bencana menjadi pelajaran yang berharga bagi Pak Pardi dan keluarganya. Ia begitu tegar. Kondisinya yang sempit tidak menyudutkan hatinya untuk meneteskan empati dan kepeduliannya bagi sesamanya. Memang sekecil apapun kita harus belajar dari kisah ini, berapapun dan dalam keadaan apapun kita harus berderma. Memberikan keteduhan menebar kepedulian. Karena sesungguhnya segalanya hanyalah milik Allah. (Kisah Nyata – Seperti Dikisahkan Kepada Abu Faqih redaktur IMC)

0 komentar:

Post a Comment